Wednesday, 10 May 2017

Why do We Love? Sebuah Pertentangan Makna Cinta Selama Berabad-Abad

Source: static.independent.co.uk
Cinta, indah dan menghayutkan, terkadang menyedihkan atau bahkan semua rasa itu tumbuh menjadi satu. Kenapa kita mempertaruhkan diri kita kedalam ke dalam pergumulan emosi yang rumit ini ? Apakah cinta membuat hidup kita lebih bermakna? Menjadi pelarian dari rasa sepi dan derita? menjadi pelampiasan hasrat seksual? Atau hal yang natural bagi kita sebagai spesies untuk memiliki keturunan?
Apabila Cinta memiliki suatu tujuan? Baik ilmuan biologi atau psikolog belum mendapatkan alasan-alasan yang meyakinkan. Akan tetapi, selama ratusan tahun peradaban manusia, para filsuf memiliki pemahama yang menarik dan mendalam.

Cinta membuat kita utuh kembali. Hal ini diutarakan oleh Plato pada masa Yunani Kuno. Plato menjelaskan bahwa kita mencintai seseorang agar kita menjadi diri kita yang seutuhnya. Bahkan pada masanya, ada sebuah kisah mitologi yang menceritakan bahwa manusia pernah diciptakan memiliki empat tangan, empat kaki, dan dua wajah. Suatu hari manusia marah pada dewa Zeus akan hal itu, sehingga setelahnya, Zeus membelah manusia menjadi dua bagian. Sejak saat itu, manusia yang kehilangan separuh dirinya akan mencari separuh dirinya yang lain untuk membuat dirinya kembali menjadi manusia yang utuh. Sekiranya itulah filosofi cinta Yunani beberapa abad yang lampau. Itulah yang disebut dengan Platonic Love.
Source: www.mozaico.com
Beberapa abad setelahnya, Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer berteori bahwa cinta berasal dari hasrat seksual. Dia menyatakan bahwa alasan kita mencintai seseorang karena adannya hasrat untuk mempercayai bahwa orang lain yang kita cintai akan membuat kita bahagia adalah tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi. Hasrat natural dan alamiah yang justru memanipulasi kita agar kita bisa berkembang biak. Cinta yang kita cari itu kemudian terefleksi ada pada diri anak-anak buah hubungan dua manusia. Ketika hasrat seksual kita terpuaskan, kita terlempar kembali pada kehampaan dan kita hanya sebatas berhasil melestarikan diri kita sebagai sebuah spesies.
Cinta adalah pelarian dari rasa sepi, hal itu adalah pendapat peraih Hadiah Nobel asal Inggris Bertrand Russell, tujuan kita mencintai adalah untuk memenuhi hasrat fisik dan psikologis. Manusia didesain untuk menghasilkan keturunan, akan tetapi, tanpa dorongan semangat yang bersifat adiktif, proses berketurunan tidak akan memuaskan dan proses tersebut akan terhenti sepenuhnya.  
Terlepas dai itu semua, rasa takut kita terhadap kehampaan mendorong kita untuk membuat tembok pelindung yang kuat untuk melindungi dan mengisolasi diri kita. Keindahan cinta, keintiman, kedekatan, dan kehangatan menolong kita untuk menghadapi berbagai rasa takut yang muncul dari luar, keluar dari tembok kesepian dan hidup seutuhnya sebagai seorang insan. Rasa tersebut rasa terbaik yang pernah ada dalam kehidupan.
Source: quotes.lifehack.org
Sidhartha Gautama, sang Buddha menyatakan bahwa kita mencintai karena kita mencoba memberikan kepuasan atas hasrat yang paling mendasar dalam diri manusia. Akan tetapi, cinta itu sendiri adalah merupakan salah satu sumber dari dosa dan penderitaan. Sehingga, Buddha mengajarkan kepada manusia untuk bisa mengontrol hawa nafsu tersebut sehingga manusa bisa berjalan menuju Nirwana.
Dalam Islam, Menikah, berpuasa, dan menjauhi zina adalah cara-cara yang harus ditempuh oleh seorang muslim sehingga tidak terjebak dalam hawa nafsu dan bisa mengontrol rasa cinta terhadap lawan jenis. Merubah hasrat tersebut menjadi rasa damai, suci, bijaksana, dan rasa kasih sayang dalam balutan Ibadah kepada Sang Pencipta.
Novelis Tiongkok kuno Cao Xueqin menggambarkan cinta dalam sebuah novel klasik yang menjadi salah satu karya satra terbesar yang pernah dihasilkan oleh peradaban tersebut. Novel klasik tersebut berjudul “Dream of The Red Chamber”. Pada suatu fase di dalam cerita novel tersebut, Jia Rui, tokoh dalam novel tersebut jatuh cinta kepada Xi-Feng yang sebenarnya membohongi pria itu. Kemudian, seorang Taoist memberinya cermin ajaib pada Jia Rui yang dapat menyembuhkan rasa sakit yang ada pada dirinya. selama dia tidak melihat ke bagian depan cermin, rasa sakit hati itu hilang, Tapi, suatu hari dia tergoda untuk melihat sisi depan cermin tersebut, kemudian dia melihat Xi-Feng. Yang terjadi, jiwa Jia Rui masuk ke dalam cermin tersebut dan kemudian menghilang.
Source: media.npr.org
Cinta jauh lebih indah dari yang dibayangkan, hal itu pun tak hanya melulu hawa nafsu dan kebutuhan biologis manusia. Untuk memperindah itu semua, Filsuf Perancis Simone de Beauvoir menyatakan bahwa cinta adalah hasrat untuk bersatu dengan orang yang kita sayangi dan hal tersebut memberikan makna pada hidup. Simone de Beauvoir tidak berfokus kepada alasan kenapa kita mencintai, melainkan berfokus pada bagaimana kita bisa mencintai dengan lebih baik. Dia mendasari hal tersebut dari permasalahan cinta romantis tradisional dimana manusia merasa begitu terjebak dengan perasaaan tersebut, meresa ketergantungan dan menjadikan itu satu-satunya alasan untuk hidup di dunia. Rasa ketergantungan terhadap orang yang kita cintai dan menjadikan orang yang dikasihi sebagai alasan kita hidup akan membuat hidup menjadi membosankan dan membawa rasa frustasi. Untuk mengatasi permasalahan ini, Beauvoir mengajarkan untuk mencintai secara sewajarnya. Cinta yang menjadikan hubungan seperti hubungan persahabatan, saling mendukung satu sama lain, saling menemukan arti hidup, dan saling memperkaya makna hidup di dunia antara satu dengan lainnya.
Cinta begitu kompleks, sehingga banyak definisi-difinisi yang menggambarkan itu semua. Terkadang kita kehilangan diri kita, menemukan diri kita, terkadang patah hati, atau menjadi hal terbaik di dunia yang pernah ada. Semua kembali kepada diri masing-masing manusia untuk menemukan makna yang sesungguhnya.


Source: Ted-Ed

No comments:

Post a Comment